Rabu, 06 Juni 2012

wali dalam perkawinan


PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wali
Secara etimologis:”wali” mempunyai arti pelindung, penolong, atau  penguasa.[1]wali mempunyai banyak arti, antara lain:

a.       Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa.
b.      Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.
c.       Orang saleh (suci), penyebar agama.
d.      Kepala pemerintah dan sebagainya.[2]
Adapun yang dimaksud wali dalam pembahasan ini adalah wali dalam pernikahan, yaitu yang sesuai dengan poin b.
Wali nikah ialah:”orang laki-laki dalam suatu akad perkawinan berwenang mengijabkan calon mempelai perempuan”. Adanya wali nikah merupakan rukun dalam akad perkawinan.
Sebagai dasar hukum adanya wali nikah dalam suatu akad perkawinan ialah:
1.      Firman Allah Surah 24 (An-Nur) ayat 32 yang artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahaya yang laki-laki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi maha Mengetahui.”
2.      Hadits riwayat Ahmad dan Al Arba’ah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah s.a.w bersabda yang artinya:
“Tidak sah akad perkawinan terkecuali dengan adanya seorang wali.”
3.      Hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Tidak boleh wanita itu mengawinkan sesama wanita dan tidak boleh wanita itu mengawinkan dirinya.”
4.      Hadits riwayat Al Arba’ah kecuali An Nasa’iy dari A’isyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Perempuan yang kawintanpa izin walinya maka nikahnya menjadi bathal. Jika suaminya telah mengumpulinya maka perempuan itu berhak menerima mahar karena suamitelah mengambil kehalalan farjinya. Jika mereka itu bersengketa, maka penguasalah yang menjadi wali wanita yang tidak ada walinya.”

Dari firman Allah dan sabda-sabda Rasullullah SAW, tersebut diatas nyatalah bahwa kedudukan wali nikah adalah sangatlah penting karena menentukan sah atau tidak sahnya akad perkwinan.
Jumhur ulama masyarakat adanya wali nikah dalam akad pernikahan dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri. Menurut Ibnu Mundzir tidak terdapat seorang sahabatpun yang menyalahi pendapat Jumhur ini. Imam malik berpendapat bahwa disyaratkan adanya Wali Nikah bagi wanita bangsawan dan tidak disyaratkan bagi wanita biasa.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tidak disyaratkan adanya Wali Nikah dalam suatu akad perkawinan. Ulama Dhahiriyah mensyaratkan adanya Wali Nikah bagi gadis dan tidak mensyaratkan bagi janda. Abu Tsaur berkata bahwa wanita boleh mengawinkan dirinya dengan izin walinya.[3]
Orang yng berhak menikahkan seorang permpuan adalah wali yang bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai wali. Namun, adakalanya wali tidak hadir atau karena sesuatu sebab ia tidak dapat bertindak sebagai wali, maka hak ke waliannya berpindah kepada orang lain.[4]
Wali ditunjuk berdasarkan prioritas secara tertib dimulai dari orng yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, mengatakan bahwa wali itu adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah, bukan dari garis ibu.

B.       Macam dan Urutan Wali Nikah
Dalam Hukum perkawinan Islam dikenal adanya empat macam Wali Nikah, yaitu:
1.      Wali Nasab, yaitu Wali Nikah karena pertaliannasb atau pertalian darah dengan calon mempelai perempuan.
2.      Wali Mu’tiq yaitu Wali Nikah karena, memerdekakan, artinya seorang ditunjuk sebagai wali nikahnya seseorang permpuan, karena orang tersebut pernah memerdekakannya. Untuk jenis kedua ini diIndonesia tidak terjadi.
3.      Wali Hakim yaitu Wali Nikah yang dilakukan oleh penguasa bagi seorang perempuan yang wali nasabnya karena sesuatu hal tidak ada, baik karena meninggal dunia, menolak menjadi wali nikah atau sebab-sebab lain.
4.      Wali Muhakam yaitu Wali Nikah yang terdiri dari seseorang laki-laki yang diangkat oleh kedua calon suami isteri untuk menikahkan mereka, dikarekan tidak ada wali Nasab, wali Mu’tiq,dan wali Hakim. Untuk jenis terakhir ini di Indonesia sedikit sekali kemungkinan terjadi. Berdasarkan hal-hal tersebut maka yang lazim di Indonesia hanyalah Wali Nasab dan Wali Hakim saja.
Urutan Wali Nasab adalah sebagai berikut :
1.      Ayah
2.      Kakek (Bapak ayah)
3.      Ayah Kakek (ayah tingkat tiga) dan seterusnya ke atas.
4.      Saudar laki-laki sekandung.
5.      Saudara laki-laki seayah.
6.      Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
7.      Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.
8.      Paman sekandung (saudara laki-laki ayah sekandung).
9.      Paman seayah (saudara laki-laki ayah seayah).
10.  Anak laki-laki paman sekandung.
11.  Anak laki-laki paman sekandung.
12.  Saudara kakek sekandung (Bapak ayah sekandung).
13.  Saudara kakek seayah (Bapak ayah seayah).
14.  Anak laki-laki saudara kakek sekandung.
15.  Anak laki-laki saudara kakek seayah.[5]

Para ulama fikih berbeda pendapat dalam malasalah wali, apakah ia menjadi syarat sahnya pernikahan atau tidak?
Imam Malik berpendapat bahwa tidak sah pernikahan tanpa wali. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i.
Imam Abu Hanifah, Zufar, Al-Sya’bi, dan Al-Zuhri berpendapat bahwa apabila seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, sedangkan suaminya sebanding (kufu’). Maka pernikahannya boleh.
Abu Dawud memisahkan antara gadis dan janda dengan syarat adanya wali pada gadis dan tidak mensyaratkannya kepada janda. Pendapat lain mengatakan bahwa persyaratan wali itu hukumnya sunah bukan fardu, karena mereka berpendapat bahwa adanya waris antara suami dan istri yang perkawinwnnya terjadi tanpa menggunakan wali, juga wanita terhormat itu boleh mewakilkan kepada seorang laki-laki untuk menikahkannya. Imam Malik juga menganjurkan agar seorang janda mengajukan walinya untuk menikahkannya.[6]
Dan Imam Malik menganggap bahwa wali itu termasuk syarat kelengkapan pernikahan, bukan syarat sahnya pernikahan. Ini bertolak belakang dengan pendapat fuqaha Maliki negeri Bagdad, yang mengatakan bahwa wali itu termasuk syarat sahnya nikah, bukan syarat kelengkapan pernikahan.
Mereka menngatakan bahwa wali itu menjadi syarat sahnya pernikahan dengan dasar:

Firman Allah Swt:



Kemudian apabila Telah habis Idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka. (QS Al-Baqarah (2): 234).[7]

Menurut mereka, ayat ini ditunjukan kepada para wali, jika mereka tidak mempunyai hak dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-halangi.
 Dalam ayat lain, Allah Swt. Juga berfirman :

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum beriman. (QS Al-Baqarah (2): 221).[8]
Didalam Hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Al-Zuhri dari Urwah, dari Aisyah juga dijelaskan:







“Aisyah berkata, Rasulullah Saw., bersabda, “Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya itu batal (diucapkan tiga kali). Jika suaminya telah menggaulinya, maka mahramnya adalah untuknya (wanita) karena apa yang telah diperoleh darinya. Kemudian apabila merka bertengkar, maka penguasa menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali.” (HR. Tirmidzi).

Adapun golongan yang tidak mensyaratkan wali mengemukakan alasan dengan firman Allah Swt:




“Kemudian apabila telah habis masa idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarakan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.” (QS Al-Baqarah (2): 234)[9]

Menurut mereka, ayat tersebut merupakan dalil atas memperbolehkannya wanita untuk menikahkan dirinya sendiri. Mereka juga mengatakan bahwa perbuatan menikahkan yang disandarkan kepada wanita, banyak disebutkan dalam Al-Qur’an diantarnya:


....Maka jangan kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya. (QS Al-Baqarah (2): 232)

Di samping ayat Al-Qur’an juga disebutkan dalam Hadits Nabi Saw:


“Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah Saw. Telah bersabda, “Janganlah dinikahkan perempuan janda sebelum dimintai pendapatnya dan perawan sebelum dimintai izinnya.”Sahabat bertanya,” Bagaimana cara izinya perawan itu ya Rasulullah? “Diamnya adalah Izinnya”. (HR. Jama’ah).[10]

Hadits tersebut oleh Abu Dawud dijadikan untuk memisahkan antar janda dengan gadis dalam masalah ini.

Dalam lain juga disebutkan:




Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah Saw. Bersabda,”Janda itu lebih berhak kepada dirinya sendiri daripada walinya. Dan gadis hendaknya diminta izinnya dalam perkara dirinya. Dan izinya adalah diamnya.” (HR Jama’ah, kecuali Bukhari).
 Dalam riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i dikatakan, “seorang gadis hendaknya minta izin kepada ayahnya.” (maksudnya sebelum diadakan akad nikah harus ditanya lebih dahulu tentang persetujuannya).

C.     Wali Mujbir dan Wali ‘Adlal
Wali mujbir adalah seorang wali yang berhak menikahkan perempuan yang tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dahulu, dan berlaku  juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat ridha pihak yang berada dibawah perwaliannya.
Wali “adlal adalah seorang wali yang tidak mau menikahkan wanita yang sudah balig yang akan menikah dengan seorang priayang kufu’. Sehingga  walinya pindah ke wali Hakim.

D.    Sifat-sifat Seorang Wali
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad perkawinan. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat menjadi wali atau saksi, tetapi orang yang memiliki sifat berikut :
1.      Islam
2.      Balig
3.      Laki-laki
4.      Mempunyai akal
5.      Merdeka
6.      Adil[11]
Adanya seorang wali menjadi salah satu rukun nikah, maka nikah yang tidak ada wali tidak sah. Nabi Saw.bersabda :




“Tidak sah nikah kecuali ada wali dan dua orang saksi yang adil, nikah yang tidak demikian (tidak ada wali dan dua oarang saksi) batal. (HR. Ibnu Hibban).[12]



















[1] M. Abdul Mujid dkk, op.cit.,hlm. 416.
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit., hlm. 1123.
[3] H. Zahri Hamid, op.cit. hlm. 29-30.
[4] H.Rahmat Hakim, op.cit., hlm. 59
[5] H. Zahri Hamid, op.cit. hlm. 30.
[6] Slamet Abidin dan H. Aminuddin, op.cit., hlm. 84.
[7] Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Qur’an, op.cit., hlm. 57.
[8] Ibid, hlm. 53.
[9] Hasbi Ash-Shiddieqi dkk, Al-Qur’an, op.cit., hlm. 57.
[10] Ahmad Mudjab, Hadits-hadits Muttafaq ‘alaih (Jakarta: Prenada Media, 2004), edisi I, hlm. 39-40.
[11] H. Sulaiman Rasjid, op.cit. hlm., 384.
[12] Achmad Sunarto, op.cit. hlm. 460-461.

1 komentar:

  1. Snow Peak Titanium Flask: Home | TITanium-Arsenic - iTanium-Arsenic
    Snow Peak Titanium Flask - Home. titanium pot TITanium-Arsenic titanium mokume gane | iTanium-Arsenic. Type: Home. TITanium-Arsenic. Type: Home. Type: titanium hair straightener Home. TITanium-Arsenic. Type: titanium curling iron Home. citizen super titanium armor

    BalasHapus