Rabu, 06 Juni 2012

hukum multulevel marketing


Hukum Multi Level Marketing
(Ust. Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi)
Pengantar
Termasuk masalah yang banyak dipertanyakan hukumnya oleh kaum muslimin yang cinta untuk mengetahui kebenaran dan peduli dalam membedakan halal dan haram adalah masalah Multi Level Marketing (MLM). Transaksi dengan sistem MLM ini telah merambah di tengah manusia dan banyak mewarnai suasana pasar masyarakat. Maka sebagai seorang pebisnis muslim, wajib untuk mengetahui hukum transaksi dengan sistem MLM ini sebelum bergelut didalamnya. Sebagaimana prinsip umum dari ucapan ‘Umar radhiyallahu’anhu:
“Jangan ada yang bertransaksi di pasar kami kecuali orang yang telah paham agama.” (Dikeluarkan oleh At-Tirmidzy dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany)
Maksud dari ucapan ‘Umar adalah bahwa seorang pedagang muslim hendaknya mengetahui hukum-hukum syariat tentang aturan berdagang atau transaksi dan mengetahui bentuk-bentuk jual-beli yang terlarang dalam agama. Dangkalnya pengetahuan tentang hal ini akan menyebabkan seseorang jatuh dalam kesalahan dan dosa. Sebagaimana telah kita saksikan tersebarnya praktek riba, memakan harta manusia dengan cara yang batil, merusak harga pasaran dan sebagainya dari bentuk-bentuk kerusakan yang merugikan masyarakat, bahkan merugikan negara.
Maka pada tulisan ini, kami akan menampilkan fatwa ulama terkemuka di masa ini. Mereka yang telah di kenal dengan keilmuan, ketakwaan dan semangat dalam membimbing dan memperbaiki umat.
Walaupun fatwa yang kami tampilkan hanya fatwa dari Lajnah Da’imah, Saudi Arabia, mengingat kedudukan mereka dalam bidang fatwa dan riset ilmiah. Namun kami juga mengetahui bahwa telah ada fatwa-fatwa lain yang sama dengan fatwa Lajnah Da’imah tersebut, seperti fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy (Perkumpulan Fiqh Islamy) di Sudan yang menjelaskan tentang hukum Perusahaan Biznas (Salah satu nama perusahaan MLM).
Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan ini dikeluarkan pada tanggal 17 Rabi’ul Akhir 1424 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juni 2003 M pada majelis no. 3/24. kesimpulan dari fatwa mereka dalam dua poin-sebagaimana yang disampaikan oleh Amin ‘Am Majma Al-Fiqh Al-Islamy Sudan, Prof. DR. Ahmad Khalid Bakar-sebagai berikut:
Satu, sesungguhnya bergabung dengan perusahaan Biznas dan yang semisal dengannya dari perusahaan-perusahaan pemasaran berjejaring (MLM) tidak boleh secara syar’i karena hal tersebut adalah qimar.
Dua, Sistem perusahaan Biznas dan yang semisal dengannya dari perusahaan-perusahaan berjejaring (MLM) tidak ada hubungannya dengan akad samsarah-sebagaimana yang disangka perusahaan (Biznas) itu dan sebagimana mereka mengesankan itu kepada ahlul ilmi yang memberi fatwa  boleh dengan alasan itu sebagai samsarah di sela-sela pertanyaan yang mereka ajukan kepada ahlul ilmi tersebut dan telah digambarkan kepada mereka perkara yang tidak sebenarnya-.”
Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan di atas dan pembahasan bersamanya telah dibukukan dan diberi catatan tambahan oleh seorang penuntut ilmu di Yordan, yaitu syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halaby.
Sepanjang yang  kami ketahui, belum ada dari para ulama ayang membolehkan sistem Multi Level Marketing ini. Memang ada sebagian dari tulisan orang-orang yang memberi kemungkinan bolehnya hal tersebut, tapi datangnya hanya dari sebagian para ulama yang digabarkan kepada mereka sistem MLM dengan penggambaran yang tidak benar-sebagaimana dalam Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy-atau sebagian orang yang sebenarnya tidak pantas berbicara dalam masalah seperti ini.
Akhirulkalam, semoga apa yang tertuang dalam tulisan ini ada manfaatnya untuk seluruh pembaca dan membawa kebaikan untuk kita. Wallahula’lam
Fatwa Lajnah Da’imah pada tanggal 14/3/1425 dengan nomor (22935)
Telah sampai pertanyaan-pertanyaan yang sangat banyak kepada Al-Lajnah Ad-Da’imah Li Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta tentang aktifitas perusahaan-perusahaan pemasaran berpiramida atau berjejaring (MLM) seperti Biznas dan hibah Al-Jazirah. Kesimpulan aktifitas mereka adalah meyakinkan seseorang untuk membeli sebuah barang atau produk agar dia (juga) mampu meyakinkan orang-orang lain untuk membeli produk tersebut (dan) agar orang-orang itu juga meyakinkan yang lainnya untuk membeli, demikian seterusnya. Setiap kali bertambah tingkatan anggota dibawahnya (downline), maka orang yang pertama akan mendapatkan komisi yang besar yang mencapai ribuan real. Setiap anggota yang dapat meyakinkan orang-orang setelahnya (downline-nya) untuk bergabung, akan mendapatkan komisi-komisi yang sangat besar yang mungkin dia dapatkan sepanjang berhasil merekrut anggota-anggota baru setelahnya ke dalam daftar para anggota. Inilah yang dinamakan dengan pemasaran berpiramida atau berjejaring (MLM).
JAWAB:
Alhamdullilah,
Lajnah menjawab pertanyaan diatas sebagai berikut:
Sesungguhnya transaksi sejenis ini adalah haram. Hal tersebut karena tujuan dari transaksi itu adalah komisi dan bukan produk. Terkadang komisi dapat mencapai puluhan ribu sedangkan harga produk tidaklah melebihi sekian ratus. Seorang yang berakal ketika dihadapkan di antara dua pilihan, niscaya ia akan memilih komisi. Karena itu, sandaran perusahaan-perusahaan ini dalam memasarkan dan mempromosikan produk-produk mereka adalah menampakkan jumlah komisi yang besar yang mungkin didapatkan oleh anggota dan mengiming-imingi mereka dengan keuntungan yang melampaui batas sebagai imbalan dari modal yang kecil yaitu harga produk. Maka produk yang dipasarkan oleh perusahaan-perusahaan ini hanya sekedar label dan pengantar untuk mendapatkan komisi dan keuntungan.
Tatkala ini adalah hakikat dari transaksi di atas, maka dia adalah haram karena beberapa alasan:
Pertama, transaksi tersebut mengandung riba dengan dua macam jenisnya; riba fadhl dan riba nasi’ah. Anggota membayar sejumlah kecil dari hartanya untuk mendapatkan jumlah yang lebih besar darinya. Maka ia adalah barter uang dengan bentuk tafadhul (ada selisih nilai) dan ta’khir (tidak cash). Dan ini adalah riba yang diharamkan menurut nash dan kesepakatan. Produk yang dijual oleh perusahaan kepada konsumen tiada lain hanya sebagai kedok untuk barter uang tersebut dan bukan menjadi tujuan anggota (untuk mendapatkan keuntungan dari pemasarannya), sehingga (keberadaan produk) tidak berpengaruh dalam hukum (transaksi ini).
Kedua, ia termasuk gharar yang diharamkan menurut syari’at, karena anggota tidak mengetahui apakah dia akan berhasil mendapatkan jumlah anggota yang cukup atau tidak?. Dan bagaimanapun pemasaran berjejaring atau piramida itu berlanjut, dan pasti akan mencapai batas akhir yang akan berhenti padanya. Sedangkan anggota tidak tahu ketika bergabung didalam piramida, apakah dia berada di tingkatan teratas sehingga ia beruntung atau berada di tingkatan bawah sehingga ia merugi? Dan kenyataannya, kebanyakan anggota piramida merugi kecuali sangat sedikit di tingkatan atas. Kalau begitu yang mendominasi adalah kerugian. Dan ini adalah hakikat gharar, yaitu ketidakjelasan antara dua perkara, yang paling mendominasi antara keduanya adalah yang dikhawatirkan. Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari gharar sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya.
Tiga, apa yang terkandung dalam transaksi ini berupa memakan harta manusia dengan kebatilan, dimana tidak ada yang mengambil keuntungan dari akad (transaksi) ini selain perusahaan dan para anggota yang ditentukan oleh perusahaan dengan tujuan menipu anggota lainnya. Dan hal inilah yang datang nash pengharamannya dengan firman (Allah) Ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil” [An-Nisa’:29]
Empat, apa yang terkandung dalam transaksi ini berupa penipuan, pengkaburan dan penyamaran terhadap manusia, dari sisi penampakan produk seakan-akan itulah tujuan dalam transaksi, padahal kenyataanya adalah menyelisihi itu. Dan dari sisi, mereka mengiming-imingi komisi besar yang seringnya tidak terwujud. Dan ini terhitung dari penipuan yang diharamkan. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Siapa yang menipu maka ia bukan dari saya” [Dikeluarkan Muslim dalam shahihnya]
Dan beliau juga bersabda,
“Dua orang yang bertransaksi jual beli berhak menentukan pilihannya (khiyar) selama belum berpisah. Jika keduanya saling jujur dan transparan, niscaya akan diberkati transaksinya. Dan jika keduanya saling dusta dan tertutup, niscaya akan dicabut keberkahan transaksiny.”[Muttafaqun’Alaihi]
Adapun pendapat bahwa transaksi ini tergolong samsarah, maka itu tidak benar. Karena samsarah adalah transaksi (dimana) pihak pertama mendapatkan imbalan atas usahanya mempertemukan barang (dengan pembelinya). Adapun pemasaran berjejaring (MLM), anggotanya-lah yang mengeluarkan biaya untuk memasarkan produk tersebut. Sebagaimana maksud hakikat dari samsarah adalah memasarkan barang, berbeda dengan pemasaran berjejaring (MLM), maksud sebenarnya adalah pemasaran komisi dan bukan (pemasaran) produk. Karena itu orang yang bergabung (dalam MLM) memasarkan kepada orang yang akan memasrkan dan seterusnya. Berbeda dengan samsarah, (dimana) pihak perantara benar-benar memasarkan kepada calon pembeli barang. Perbedaan diantara dua transaksi adalah jelas.
Adapun pendapat bahwa komisi-komisi tersebut masuk dalam kategori hibah (pemberian), maka ini tidak benar, andaikata (pendapat itu) diterima, maka tidak semua bentuk hibah itu boleh menurut syari’at. (Sebagaimana) hibah yang terkait dengan suatu pinjaman adalah riba. Karena itu, Abdullah bin Salam berkata kepada Abu Burdah radhiyallahu’anhuma,
“Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang riba tersebar padanya. Maka jika engkau memiliki hak pada seseorang kemudian dia menghadiahkan kepadamu sepikul jerami, sepikul gandum atau sepikul tumbuhan maka ia adalah riba.”[Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dalam Ash-Shahih]
Dan (hukum) hibah dilihat dari sebab terwujudnya hibah tersebut. Karena itu beliau ‘alaihish shalatu wa sallam bersabda kepada pekerjanya yang datang lalu berkata, “Ini untuk kalian, dan ini dihadiahkan kepada saya.” Beliau ‘alaihish shalatu wa sallam bersabda,
“Tidakkah sepantasnya engkau duduk di rumah ayahmu atau ibumu, lalu engkau menunggu apakah dihadiahkan kepadamu atau tidak?” [Muttafaqun’Alaih]
Dan komisi-komisi ini hanyalah diperoleh karena bergabung dalam sistem pemasaran berjejaring. Maka apapun namanya, baik itu hadiah, hibah atau selainnya, maka hal tersebut sama sekali tidak mengubah hakikat dan hukumnya.
Dan (juga) hal yang patut disebut disana ada beberapa perusahaan yang muncul di pasar bursa dengan sistem pemasaran berjejaring atau berpiramida (MLM) dalam transaksi mereka, seperti Smart Way, Gold Quest dan Seven Diamond. Dan hukumnya sama dengan perusahaan-perusahaan yang telah berlalu penyebutannya. Walaupun sebagiannya berbeda dengan yang lainnya pada produk-produk yang mereka perdagangkan.
Wabillahi taufiq wa shalallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi.
[Fatwa diatas ditanda-tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Azis Alu Asy-Syaikh (ketua), Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Syaikh Abdullah Ar-Rukban, Syaikh Ahmad Sair Al-Mubaraky dan Syaikh Abdullah Al-Mutlaq]
Dikutip dari majalah An-Nashihah volume 14, hal. 12-14
Topik pembahasan terkait :
http://www.eramuslim.com/konsultasi/fikih-kontemporer/halalkah-mlm.htm

bisnis online
Beberapa waktu yang lalu saya update status mengenai bisnis online di facebook, dan ada beberapa teman yang berkomentar (dan yang saya tangkap dari tulisannya tidak sepakat dengan pekerjaanku ini), kira-kira apa penyebabnya ya...? menurut anda apa? Kalau menurutku, mungkin dia belum paham model dan teknik bisnis online yang saya jalani ini.

Berawal dari itu semua, perburuan informasi tentang hukum bisnis onlinepun saya lakoni, baik secara online bekunjung kebeberapa media pemberi informasi soal ilmu fiqih yang berkaitan dengan bisnis, maupun secara offline dengan bertanya pada santri, dan kyai (tentunya yang saya yakini beliaunya paham hukum islam-ahli fiqih dan ngerti juga tentang teknologi), hal ini saya lakukan untuk menenangkan hati, dan lebih memantapkan bisnis yang saya jalani ini kedepanya.

Tulisan ini di maksudkan untuk membantu teman-teman sesama muslim agar tidak ragu untuk menjalankan bisnis online, terkait dengan hukum dalam islam, unsur keberkahan dan lain sebagainya. Juga untuk menambah wawasan bagi teman-teman yang selama ini memandang bisnis online sebagai pekerjaan yang tidak realistis dan penuh dengan dosa dan penipuan.

Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang (al-hadits). Artinya, melalui jalan perdagangan inilah, pintu-pintu rezeki akan dapat dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya. Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan (QS 2 : 275), dengan catatan selama dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.

Dalil di atas dimaksudkan untuk transaksi offline. Sekarang bagaimana dengan transaksi online di akhirzaman ini? Kalau kita bicara tentang bisnis online, banyak sekali macam dan jenisnya. Namun demikian secara garis besar bisa di artikan sebagai jual beli barang dan jasa melalui media elektronik, khususnya melalui internet atau secara online.

Salah satu contoh adalah penjualan produk secara online melalui internet seperti yang dilakukan Amazon.com, Clickbank.com, Kutubuku.com, Kompas Cyber Media, dll. Dalam bisnis ini, dukungan dan pelayanan terhadap konsumen menggunakan website, e-mail sebagai alat bantu, mengirimkan kontrak melalui mail dan sebagainya.

Mungkin ada definisi lain untuk bisnis online, ada istilah e-commerce. Tetapi yang pasti, setiap kali orang berbicara tentang e-commerce, mereka memahaminya sebagai bisnis yang berhubungan dengan internet.

Dari definisi diatas, bisa diketahui karakteristik bisnis online, yaitu:
  • 1) Terjadinya transaksi antara dua belah pihak; 
  • 2) Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi; 
  • 3) Internet merupakan media utama dalam proses atau mekanisme akad tersebut.

Dari karakteristik di atas, bisa di lihat bahwa yang membedakan bisnis online dengan bisnis offline yaitu proses transaksi (akad) dan media utama dalam proses tersebut. Akad merupakan unsur penting dalam suatu bisnis. Secara umum, bisnis dalam Islam menjelaskan adanya transaksi yang bersifat fisik, dengan menghadirkan benda tersebut ketika transaksi, atau tanpa menghadirkan benda yang dipesan, tetapi dengan ketentuan harus dinyatakan sifat benda secara konkret, baik diserahkan langsung atau diserahkan kemudian sampai batas waktu tertentu, seperti dalam transaksi as-salam dan transaksi al-istishna. Transaksi as-salam merupakan bentuk transaksi dengan sistem pembayaran secara tunai/disegerakan tetapi penyerahan barang ditangguhkan. Sedang transaksi al-istishna merupakan bentuk transaksi dengan sistem pembayaran secara disegerakan atau secara ditangguhkan sesuai kesepakatan dan penyerahan barang yang ditangguhkan.

Ada dua jenis komoditi yang dijadikan objek transaksi online, yaitu barang/jasa non digital dan digital. Transaksi online untuk komoditi non digital, pada dasarnya tidak memiliki perbedaan dengan transaksi as-salam dan barangnya harus sesuai dengan apa yang telah disifati ketika bertransaksi. Sedangkan komoditi digital seperti ebook, software, script, data, dll yang masih dalam bentuk file (bukan CD) diserahkan secara langsung kepada konsumen, baik melalui email ataupun download. Hal ini tidak sama dengan transaksi as-salam tapi seperti transaksi jual beli biasa.

Transaksi online dibolehkan menurut Islam berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam perdagangan menurut Islam, khususnya dianalogikan dengan prinsip transaksi as-salam, kecuali pada barang/jasa yang tidak boleh untuk diperdagangkan sesuai syariat Islam.

KESIMPULAN

Bisnis online sama seperti bisnis offline. Ada yang halal ada yang haram, ada yang legal ada yang ilegal. Hukum dasar bisnis online sama seperti akad jual beli dan akad as-salam, ini diperbolehkan dalam Islam. Adapun keharaman bisnis online karena beberapa sebab :
  • 1. Sistemnya haram, seperti money gambling. Judi itu haram baik di darat maupun di udara (online)
  • 2. Barang/jasa yang menjadi objek transaksi adalah barang yang diharamkan, seperti narkoba, video porno, online sex, pelanggaran hak cipta, situs-situs yang bisa membawa pengunjung ke dalam perzinaan.
  • 3. Karena melanggar perjanjian (TOS) atau mengandung unsur penipuan.
  • 4. Dan lainnya yang tidak membawa kemanfaatan tapi justru mengakibatkan kemudharatan.

Ketika kita terjun ke bisnis online, banyak sekali godaan dan tantangan bagaimana kita harus berbisnis sesuai dengan koridor Islam. Maka dari itu kita harus lebih berhati-hati. Jangan karena ingin mendapat dolar yang banyak lalu menghalalkan segala macam cara. Selama kita berbisnis online sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan bermanfaat bagi orang lain, insya Alloh uang yang didapat akan berkah.

Sebagaima telah disebutkan di atas, hukum asal mu’amalah adalah al-ibaahah (boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya. Namun demikian, bukan berarti tidak ada rambu-rambu yang mengaturnya. Sebagai pijakan dalam berbisnis online, kita harus memperhatikan hal-hal di bawah ini :

Transaksi online diperbolehkan menurut Islam selama tidak mengandung unsur-unsur yang dapat merusaknya seperti riba, kezhaliman, penipuan, kecurangan dan yang sejenisnya serta memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat didalam jual belinya.

Rukun-rukun jual beli menurut jumhur ulama :
  • 1. Ada penjual.
  • 2. Ada pembeli.
  • 3. Ijab Kabul.
  • 4. Barang yang diakadkan. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz V hal 3309)

Syarat-syarat sah jual beli itu adalah :

1. Syarat-syarat pelaku akad : bagi pelaku akad disyaratkan, berakal dan memiliki kemampuan memilih. Jadi orang gila, orang mabuk, dan anak kecil (yang belum bisa membedakan) tidak bisa dinyatakan sah.

2. Syarat-syarat barang yang diakadkan :
  • Suci (halal dan baik).
  • Bermafaat.
  • Milik orang yang melakukan akad.
  • Mampu diserahkan oleh pelaku akad.
  • Mengetahui status barang (kualitas, kuantitas, jenis dan lain-lain)
  • Barang tersebut dapat diterima oleh pihak yang melakukan akad. (Fiqih Sunnah juz III hal 123)

Hal yang perlu juga diperhatikan oleh konsumen dalam bertransaksi adalah memastikan bahwa barang/jasa yang akan dibelinya sesuai dengan yang disifatkan oleh si penjual sehingga tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari.

Wallahu a'lam
Bagaimana, sudah siap menjalankan bisnis online?

Referensi : eramuslim.com , pesantrenvirtual.com , msi-uii.net
Votes
Quantcast
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata [dalam Fatawa Mu'ashirah, hal. 52-53, dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin] :
“Menjual dengan kredit artinya bahwa seseorang menjual sesuatu (barang) dengan harga tangguh yang dilunasi secara berjangka. Hukum asalnya adalah dibolehkan berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” [Al-Baqarah : 282]
Demikian pula, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah membolehkan jual beli As-Salam, yaitu membeli secara kredit terhadap barang yang dijual. Akan tetapi kredit (angsuran) yang dikenal di kalangan orang-orang saat ini adalah termasuk dalam bentuk pengelabuan terhadap riba. Teknisnya ada beberapa cara, di antaranya :
Pertama
Seseorang memerlukan sebuah mobil, lalu datang kepada si pedagang yang tidak memilikinya, sembari berkata, “Sesungguhnya saya memerlukan mobil begini”. Lantas si pedagang pergi dan membelinya kemudian menjual kepadanya secara kredit dengan harga yang lebih banyak. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah bentuk pengelabuan tersebut karena si pedagang mau membelinya hanya karena permintaannya dan bukan membelikan untuknya karena kasihan terhadapnya tetapi karena demi mendapatkan keuntungan tambahan, seakan dia meminjamkan harganya kepada orang secara riba (memberikan bunga, pent), padahal para ulama berkata, “Setiap pinjaman yang diembel-embeli dengan tambahan, maka ia adalah riba”. Jadi, standarisasi dalam setiap urusan adalah terletak pada tujuan-tujuannya.

Kedua
Bahwa sebagian orang ada yang memerlukan rumah tetapi tidak mempunyai uang, lalu pergi ke seorang pedagang yang membelikan rumah tersebut untuknya, kemudian menjual kepadanya dengan harga yang lebih besar secara tangguh (kredit). Ini juga termasuk bentuk pengelabuan terhadap riba sebab si pedagang ini tidak pernah menginginkan rumah tersebut, andaikata ditawarkan kepadanya dengan separuh harga, dia tidak akan membelinya akan tetapi dia membelinya hanya karena merasa ada jaminan riba bagi dirinya dengan menjualnnya kepada orang yang berhajat tersebut.

Gambaran yang lebih jelek lagi dari itu, ada orang yang membeli rumah atau barang apa saja dengan harga tertentu, kemudian dia memilih yang separuh harga, seperempat atau kurang dari itu padahal dia tidak memiliki cukup uang untuk melunasinya, lalu dia datang kepada si pedagang, sembari berkata, “Saya telah membeli barang anu dan telah membayar seperempat harganya, lebih kurang atau lebih banyak dari itu sementara saya tidak memiliki uang, untuk membayar sisanya”. Kemudian si pedagang berkata, “Saya akan pergi ke pemilik barang yang menjualkannya kepada anda dan akan melunasi harganya untuk anda, lalu saya mengkreditkannya kepada anda lebih besar dari harga itu. Dan banyak lagi gambaran-gambaran yang lain.
Akan tetapi yang menjadi dhabit (ketentuan yang lebih khusus) adalah bahwa setiap hal yang tujuannya untuk mendapatkan riba, maka ia adalah riba sekalipun dikemas dalam bentuk akad yang halal, sebab tindakan pengelabuan tidak akan mempengaruhi segala sesuatu. Mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah, hanya akan menambahnya menjadi semakin lebih buruk karena mengandung dampak negativ Dari hal yang diharamkan dan penipuan, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Janganlah kamu melakukan dosa sebagaimana dosa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi sehingga (karenanya) kemu menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah (sekalipun) dengan serendah-rendah (bentuk) pengelabuan (siasat licik)“. [Ibn Baththah dalam kitab Ibthalil Hiyal hal. 24. Irwa'ul Ghalil 1535]
Mengenai penjualan kredit dengan penambahan harga, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan [dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah V/419-427] :
“”Barangsiapa menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, maka baginya (harga,-pent) yang paling sedikit atau (kalau tidak mau, maka harga yang lebih tinggi adalah, -pent) riba” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam "Al-Mushannaf (VI/120/502)", Abu Daud dari Ibnu Abi Syaibah (no. 3461), Ibnu Hibban di dalam "Shahihnya (1110)", Al-Hakim (II/45), dan Al-Baihaqi (V/343) kesemuanya meriwayatkan bawha telah becerita kepada kami Ibnu Abi Zaidah dari Muhammad bin Amir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu, sanadnya hasan, bahkan telah dishahihkan oleh Al-Hakim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, juga oleh Ibnu Hazm di dalam "Al-Muhalla (IX/16). Juga diriwayatkan oleh An-Nasa'i (VII/296, cetakan baru), At-Tirmidzi (I/232), dia menshahihkannya, Ibnul Jarud (286), Ibnu Hibban (1109), Al-Baghawi di dalam "Syarh As-Sunnah (VIII/142/211)", ia juga menshahihkannya, Ahmad (II/342, 375, 503) dan Al-Baihaqi dari beberapa jalan dari Muhammad bin Amr dengan lafazh : "Beliau melarang dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan"]
Al-Baihaqi berkata : “Bahwa Abdul Wahhab (yakni Ibnu Atha’) berkata yaitu (si penjual) berkata : “Itu (barang) untukmu apabila kontan Rp 10,- namun jika dengan penundaan (seharga) Rp 20,-”
Imam Ibnu Qutaibah juga menerangkannya dengan (keterangan) ini, beliau berkata di dalam “Gharib Al-Hadits (I/18) : “Diantara jual beli yang terlarang (ialah) dua syarat (harga) dalam satu penjualan, yaitu (misalnya) seseorang membeli barang seharga dua dinar jika temponya dua bulan, dan seharga tiga dinar jika temponya tiga bulan. Itulah makna “dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan.”
Dan hadits itu dengan lafazh ini ["Dua syarat di dalam satu penjualan"] adalah ringkas dan shahih. Hadits ini tersebut didalam hadits Ibnu Umar dan Ibnu Amr, keduanya telah ditakhrij di dalam “Irwaa Al-Ghalil (V/150-151)”.
Dan semakna dengan hadits itu adalah ucapan Ibnu Mas’ud : “Satu akad jual beli di dalam dua akad jual beli adalah riba” [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq di dalam Al-Mushannaf (VIII/138-139), Ibnu Abi Syaibah (VI/199), Ibnu Hibban (163, 1111) dan Ath-Thabrani (41/1), sanadnya shahih]
Dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/393), dan ini juga merupakan riwayat Ibnu Hibban (1112) (dari Ibnu Mas’ud,-pent) dengan lafazh : “Tidak patut dua akad jual-beli di dalam satu akad jual-beli (menurut lafazh Ibnu Hibban : Tidak halal dua akad jual beli) dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Allah melaknat pemakan (riba) [Pemakan riba adalah orang yang mengambilnya walaupun tidak makan, diungkapkan dengan makan karena makan adalah kegunaan terbesar dari riba dan karena riba itu umumnya seputar makanan. Pemberi makan riba adalah orang yang memberikan riba kepada orang yang mengambilnya, walaupun yang mengambil tadi tidak memakannya,-pent. (Lihat Al-Fathur-Rabbani Ma'a Syarhihi Bulughul -Amani (XV/68) oleh Ahmad Abdur Rahman Al-Banna, Penerbit Dar Ihya At-Turots Al-Arabi, tanpa tahun], saksinya dan penulisnya“. Dan sanadnya juga shahih
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Nashr di dalam As-Sunnah (54), dia menambahkan dalam satu riwayat “Yaitu seseorang berkata : “Jika kontan maka (harganya) sekian dan sekian, dan jika tidak kontan maka (harganya) sekian dan sekian“.
Apalagi sekelompok ulama dan Fuqaha (para ahli fiqh) menyepakatinya atas hal itu. Mereka adalah :

  1. Ibnu Sirin Ayyub. Meriwayatkan darinya, bahwa Ibnu Sirin membenci seseorang berkata : “Aku menjual (barang,-pent) kepadamu seharga 10 dinar secara kontan, atau 15 dinar secara tempo” [Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq di dalam "Al-Mushannaf (VIII/138/14630)" dengan sanad yang shahih darinya (Ibnu Sirin)].
  1. Thawus. Dia berkata : “Apabila (penjual,-pent) mengatakan bahwa (barang) itu dengan (harga) sekian dan sekian jika temponya sekian dan sekian, tetapi dengan (harga) sekian jika temponya sekian dan sekian. Lalu terjadi jual beli atas (cara) ini, maka (penjual harus mengambil, -pent) harga yang lebih rendah sampai tempo yang lebih lama. [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq juga (14631) dengan sanad yang shahih juga. Abdur Razaq juga meriwayatkan (pada no 14626), demikian pula Ibnu Abu Syaibah (VI/120) dari jalan Laits dari Thawus dengannya (perkataan di atas,-pent) secara ringkas, tanpa perkataan : "Lalu terjadi jual beli..." tetapi dengan tambahan (riwayat) : "Kemudian (jika penjualnya, -pent) menjual dengan salah satu dari kedua harga itu sebelum (pembeli, -pent) berpisah dari (penjual), maka tidak mengapa". Akan tetapi ini tidak shahih dari Thawus, karena :Laits -yaitu Ibnu Abu Salim- telah berubah ingatan (karena tua)].
  1. Sufyan Ats-Tsauri. Mengatakan bahwa, jika engkau berkata : “Aku menjual kepadamu dengan kontan (seharga) sekian, dan dengan tidak kontan (seharga) sekian dan sekian”, kemudian pembeli membawanya pergi, maka dia berhak memilih di antara dua (harga) penjualan tadi, selama belum terjadi keputusan jual-beli atas salah satu harga. Dan jika telah terjadi jual-beli seperti ini, maka itu adala dibenci.Itulah “dua penjualan di dalam satu penjualan”, dan itu tertolak serta terlarang. Maka jika engkau mendapati barangmu masih utuh, engkau dapat mengambil harga yang paling rendah dan waktu yang lebih lama. [Diriwayatkan oleh Abdur Razaq (14632) dari Sufyan Ats-Tsauri].
  1. Al-Auza’i. Riwayatnya secara ringkas senada dengan di atas. Dalam riwayat itu dikisahkan bahwa Al-Auza’i ditanya : “Jika (pembeli,-pent) membawa pergi dagangan itu (berdasarkan jual-beli dengan) dua syarat tadi?” Dia (Al-Auza’i) menjawab : “Harga barang itu dengan harga yang terendah dengan tempo yang lebih lama“. Al-Khaththabi menyebutkannya (riwayat ini, pent) di dalam “Ma’alimus Sunnah (V/99)”. Kemudian para imam hadits dan lughoh (bahasa Arab) berjalan mengikuti sunnah mereka, diantaranya :
  • Imam An-Nasa’i. Beliau berkata dibawah bab : Dua penjualan di dalam satu penjualan: “yaitu seseorang berkata : Aku menjual kepadamu barang ini seharga 100 dirham secara kontan, dan seharga 200 dirham secara tidak kontan”.Demikian juga An-Nasa’i menerangkan seperti itu pada hadits Ibnu Amr “Tidak halal dua persyaratan di dalam satu penjualan“. [Hadits ini ini telah ditakhrih didalam "Al-Irwaa (1305) dan lihatlah "Shahihul Jaami (7520)".
  • Ibnu Hibban. Beliau berkata di dalam "Shahihnya (VII/225-Al-Ihsan)" : "Telah disebutkan larangan tentang menjual sesuatu dengan harga 100 dinar secara kredit, dan seharga 90 dinar secara kontan. Beliau menyebutkan hal itu dibawah hadits Abu Hurairah dengan lafazh yang ringkas.
  • Ibnul Atsir. Di dalam "Gharibul Hadits" dia menyebutkannya di dalam penjelasan dua hadits yang telah diisyaratkan tadi.
HUKUM JUAL BELI KREDIT
Sesungguhnya telah disebutkan pendapat-pendapat yang lain mengenai tafsir "dua penjualan" itu, mungkin sebagiannya akan dijelaskan berikut ini. Namun tafsir yang telah lewat di atas adalah yang paling benar dan paling masyhur, dan itu persis dengan apa yang sekarang ini dikenal dengan (istilah) "Jual Beli Kredit". Bagaimana hukumnya ?

Dalam hal ini, para ulama telah berselisih pendapat semenjak dahulu hingga sekarang dan menjadi tiga pendapat.
  1. Bahwa hal itu adalah batil secara mutlak, dan ini adalah pendapat Ibnu Hazm
  2. Bahwa hal itu adalah tidak boleh kecuali apabila dua harga itu dipisah (ditetapkan) pada salah satu harga saja. Misalnya apabila hanya disebutkan harga kreditnya saja.
  3. Bahwa hal itu tidak boleh. Akan tetapi apabila telah terjadi dan harga yang lebih rendah dibayarkan maka boleh.
Dalil madzhab yang pertama adalah zhahir larangan pada hadits-hadits yang telah lalu, karena pada asalnya larangan itu menunjukkan batilnya (perdagangan model itu). Inilah pendapat yang mendekati kebenaran, seandainya tidak ada apa yang nanti disebutkan saat membicarakan dalil bagi pendapat yang ketiga.
Sedangkan para pelaku pendapat kedua berargumentasi bahwa larangan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan harga, yaitu : ketidak pastian harga ; apakah harga kontan atau kredit. Al-Khaththabi berkata : "Apabila (pembeli) tidak tahu harga (maka) jual beli itu batal. Adapun apabila dia memastikan pada salah satu dari dua perkara (harga, -pent) itu dalam satu majlis akad, maka (jual-beli) itu sah".
Syaikh Al Albani berkata : "Alasan dilarangnya ‘dua (harga) penjualan dalam satu penjualan' disebabkan oleh ketidaktahuan harga, adalah alasan yang tertolak. Karena hal itu semata-mata pendapat yang bertentangan dengan nash yang jelas di dalam hadits Abu Hurairah dan Ibnu Mas'ud bahwa (penyebab larangan) itu adalah riba. Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi lain (yang menjadi pendapat ini tertolak, -pent) ialah karena alasan mereka ini dibangun di atas pendapat wajibnya ijab dan qabul dalam jual beli. Padahal (pendapat) ini tidak ada dalilnya, baik melalui Kitab Allah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan di dalam (jual-beli) itu cukup (dengan) saling rela dan senang hati. Maka selama ada rasa saling rela dan senang hati di dalam jual beli, dan ada petunjuk kearah sana, berarti itu merupakan jual-beli yang syar'i. Itulah yang dikenal oleh sebagian ulama dengan (istilah) jual beli Al-Mu'aathaah [Yaitu akad jual beli yang terjadi tanpa ucapan atau perkataan (ijab qabul) akan tetapi dengan perbuatan saling rela. Seperti pembeli mengambil barang dagangan dan memberikan (uang) harganya kepada penjual ; atau penjual memberikan barang dan pembeli memberikan (uang) harganya tanpa berbicara dan tanpa isyarat, baik barang itu remeh atau berharga. (Lihat "Al-Fihul Islami wa Adillatuhu IV/99 oleh DR Wahbah Az-Zuhaili)], Asy-Syaukani berkata di dalam “As-Sail Al-Jarar (III/126)”
“Jual beli al-mu’aathaah ini, yang dengannya terwujud suasana saling rela dan senang hati adalah jual beli syar’i yang diijinkan oleh Allah, sedangkan menambahinya (dengan syarat-syarat lain, pent) adalah termasuk mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh syara (agama)”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga telah menjelaskan hal itu di dalam Al-Fatawa (XXIX/5-21) yang tidak memerlukan tambahan lagi, hendaklah orang yang ingin memperluas (masalah ini) melihat ke sana.
Syaikh Al-Albani berkata : “Apabila demikian, maka seorang pembeli sewaktu dia telah berpaling (membawa) apa yang dia beli, mungkin dia membayar kontan atau mungkin membayar kredit. Jual beli dengan cara yang pertama itu sah, sedangkan pada cara kedua yaitu pembeli membawa barang dengan menanggung harga kredit -dan inilah masalah yang sedang diperselisihkan-, lalu mana alasan tidak mengerti harga yang dikemukakan di atas ? Khususnya lagi apabila pembayaran itu dengan angsuran, maka angsuran yang pertama dia bayar dengan kontan sedang sisa angsurannya tergantung kesepakatan. Dengan demikian batallah illat (alasan/sebab) tidak mengertinya harga sebagai dalil, baik melalui atsar maupun melalui penelitian.
Dalil pendapat yang ketiga adalah hadits bab ini (hadits yang dibicarakan ini ,-pent), ditambah atsar (hadits) Ibnu Mas’ud. Sesungguhnya kedua hadits tersebut sepakat bahwa : ‘dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan adalah riba”. Jadi riba itulah yang menjadi illat (alasan)nya. Dengan demikian maka larangan itu berjalan sesuai dengan illat (alasan)nya, baik larangan itu menjadi ada, ataupun menjadi tidak ada. Karenanya bila dia mengambil harga yang lebih tinggi, berarti itu riba. Tetapi bila mengambil harga yang lebih rendah, maka hal itu menjadi boleh. Sebagaimana keterangan dari para ulama, yang telah menyatakan bahwa boleh untuk mengambil yang lebih rendah harganya, dengan tempo yang lebih lama, karena sesungguhnya dengan demikian berarti dia tidak menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan.
Bukankah anda lihat apabila (penjual) menjual barang dagangannya dengan harga pada hari itu, dan dia membebaskan pembeli untuk memilih antara membayar harga secara kontan atau hutang, maka dia tidak dikatakan : Telah menjual dengan dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, sebagaimana hal itu jelas. Dan itulah yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya pada hadits yang bicarakan, “Maka baginya (harga) yang paling sedikit, atau (kalau tidak mau maka harga yang lebih tinggi adalah) riba” [lihat hadits yang menjadi pokok bahasan di atas, -pent]
Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensahkan penjualan itu karena hilangnya illat (alasan/sebab yang menjadikannya terlarang). Beliau membatalkan harga tambahan, karena hal itu adalah riba. Pendapat ini adalah juga pendapat Thawus, Ats-Tsauri, dan Al-Auza’i rahimahullah sebagaimana telah diterangkan di atas. Dari sinilah dapat diketahui gugurnya perkataan Al-Khaththabi di dalam “Ma’alimus Sunan (V/97)”.
Dan kesimpulannya ; bahwa pendapat yang kedua itu adalah pendapat yang paling lemah, karena tidak ada dalil padanya kecuali akal bertentangan dengan nash. Kemudian diiringi oleh pendapat yang pertama, karena Ibnu Hazm yang mempunyai pendapat itu mengklaim bahwa hadits bab ini telah dihapus (mansukh) oleh hadits-hadits yang melarang dua penjualan di dalam satu penjualan, dan klaim itu tertolak, karena bertentanan dengan ushul (fiqh,-pent).
Karena (di dalam ushul fiqh, sebuah hadits itu,-pent) tidak akan menjadi (pembicaraan) naskh (penghapusan hukum) kecuali apabila jama’ (penggabungan nash) sulit dilakukan, padahal jama’ bisa dilakukan dengan mudah disini.
Ketahuilah akhi (saudaraku) Muslim ! bahwa mu’amalah tersebut yang telah tersebar di kalangan para pedagang dewasa ini, yaitu jual beli kredit, dan mengambil tambahan (harga) sebagai ganti tempo, dan semakin panjang temponya ditambah pula harganya. Dari sisi lain itu hanyalah mu’amalah yang tidak syar’i karena meniadakan ruh Islam yang berdiri di atas (prinsip) memudahkan kepada manusia, kasih sayang terhadap mereka, sebagaimana di dalam sabda beliau “Mudah-mudahan Allah merahmati seorang hamba, yang mudah apabila dia menjual, mudah apabila dia membeli, mudah apabila dia menagih” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang dermawan, yang lemah lembut, yang dekat niscaya Allah haramkan dari neraka” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan lainnya, dan telah disebutkan takhrijnya no. 938]
Maka seandainya salah seorang dari mereka (para pedagang ) bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjual (barang) dengan (sistim hutang atau kredit dengan harga kontan, sesunguhnya itu lebih menguntungkannya, hatta dari sisi materi. Karena hal itu akan menjadikan orang-orang ridha kepadanya dan mau membeli darinya serta akan diberkati di dalam rizkinya, sesuai dengan firmanNya Azza wa Jalla “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan jalan keluar baginya dan memberi rizki kepadanya dari arah yang tidak ia sangka” [Ath-Thalaq : 2]
Dan pada kesempatan ini aku nasehatkan kepada para pembaca untuk meruju kepada risalah al-akh Al-Fadhil Abdurrahman Abdul Khaliq (yang berjudul) : “Al-Quuluf Fashl Fii Bari’il Ajl”, karena risalah ini istimewa dalam masalah ini, bermanfaat dalam temanya, mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kepadanya.”
Sumber :
  1. Majalah As-Sunnah Edisi 12/Th III/1420-1999, Penjualan Kredit Dengan Tambahan Harga, Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Peneremah Abu Shalihah Muslim Al-Atsari, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah.
  2. Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq
Hukum Lelang
Sabtu, - 11:09:42 - 8835
Di dalam literatur fiqih, lelang dikenal dengan istilah muzayadah. Muzayadah sendiri berasal dari kata ziyadah yang artinya bertambah. Muzayadah berarti saling menambahi. Maksudnya, orang-orang saling menambahi harga tawar atas suatu barang.

Dan sebagaimana kita tahu, dalam prakteknya dalam sebuah penjualan lelang, penjual menawarkan barang di kepada beberapa calon pembeli. Kemudianpara calon pembeli itu saling mengajukan harga yang mereka inginkan. Sehingga terjadilah semacam saling tawar dengan suatu harga.

Penjual nanti akan menentukan siapa yang memang, dalam arti yang berhak menjadi pembeli. Biasanya pembeli yang ditetapkan adalah yang berani mengajukan harga tertinggi. Lalu terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual.

Hukum Lelang

Ada pendapat ulama yang membolehkan hukum lelang, tapi ada juga yang memakruhkannya. Hal itu karena memang ada beberapa sumber hukum yang berbeda. Ada hadits yang membolehkannya dan ada yang tidak membolehkannya.

1. Yang Membolehkan

Yang membolehkan lelang ini adalah jumhur (mayoritas ulama). Dasarnya adalah apa yang dilakukan langsung oleh Rasulullah SAW di masa beliau hidup. Ternyata beliau juga melakukan transaksi lelang dalam kehidupannya. Di antara hadits yang membolehkannya antara lain :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ فَقَالَ لَكَ فِي بَيْتِكَ شَيْءٌ قَالَ بَلَى حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ وَقَدَحٌ نَشْرَبُ فِيهِ الْمَاءَ قَالَ ائْتِنِي بِهِمَا قَالَ فَأَتَاهُ بِهِمَا فَأَخَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ مَنْ يَشْتَرِي هَذَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ قَالَ مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا الْأَنْصَارِيَّ


Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi saw berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi saw bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi saw bertanya lagi,”Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi saw menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,”Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka Nabi saw memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut…
(HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi)

Hadits ini menjadi dasar hukum dibolehkannya lelang dalam syariah Islam. Lantaran Nabi SAW sendiri mempraktekkannya. Sehingga tidak ada alasan untuk mengharamkannya.

Kebolehan transaksi lelang ini dikomentari oleh Ibnu Qudamah sebagai sesuatu yang sudah sampai ke level ijma` (tanpa ada yang menentang) di kalangan ulama.

2. Yang Memakruhkan

Namun ternyata ada juga ulama yang memakruhkan transaksi lelang. Di antaranya Ibrahim an-Nakha`i. Beliau memakruhkan jual beli lelang, lantaran ada dalil hadits dari Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata,

سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع المزايدة

Aku mendengar Rasulullah saw melarang jual beli lelang. (HR Al-Bazzar).

Sedangkan Ibnu Sirin, Al-Hasan Al-Basri, Al-Auza`i, Ishaq bin Rahawaih, memakruhkannya juga, bila yang dilelang itu bukan rampasan perang atau harta warisan. Maksudnya, kalau harta rampasan perang atau warisan itu hukumnya boleh. Sedangkan selain keduanya, hukumnya tidak boleh atau makruh.

Dasarnya adalah hadits berikut ini :

عن ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : نَهَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ أَحَدُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَحَدٍ حَتَّى يَذَرَ إِلاَّ الْغَنَائِمَ وَالْمَوَارِيثَ

Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAw melarang seseorang di antara kalian membeli sesuatu yang sedang dibeli oleh saudaranya hingga dia meninggalkannya, kecuali rampasan perang dan waris.

Sayangnya, banyak yang mengkritik bahwa keuda hadits di atas kurang kuat. Dalam hadits yang pertama terdapat perawi bernama Ibnu Luhai’ah dan dia adalah seorang rawi yang lemah (dha`if). Sedangkan hadits yang kedua, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan hadits itu dhaif. (Lihat Fathulbari 4 : 354)

Untuk itu, menurut jumhur ulama, kesimpulannya masalah lelang ini dibolehkan, asalkan memang benar-benar seperti yang terjadi di masa Rasulullah SAW. Artinya, lelang ini tidak bercampur dengan penipuan, atau bercampur dengan trik-trik yang memang dilarang.

Wallahu a`lam bishshawab, wassalamu`alaikum wr wb.

Waralaba Perspektif Hukum Islam

Untuk menciptakan sistem bisnis waralaba yang islami, diperlukan sistem nilai syariah sebagai filter moral bisnis yang bertujuan untuk menghindari berbagai penyimpangan bisnis (moral hazard), yaitu Maysir (spekulasi), Asusila, Gharar (penipuan), Haram, Riba, Ikhtikar (penimbunan/monopoli), Dharar (berbahaya).

Dalam hukum Islam, kerja sama dalam hal jual beli dinamakan syirkah. Syirkah dibagi menjadi 3 bentuk yaitu :
Syirkah ibahah, yaitu : persekutuan hak semua orang untuk dibolehkan menikmati manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaan seseorang.
Syirkah amlak (milik), yaitu : persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memiliki suatu benda, syirkah amlak dibagi menjadi 2.
Syirkah akad, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul dengan adanya perjanjian. Syirkah akad dibagi menjadi empat (4), yaitu :
Syirkah amwal, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal/harta.
Syirkah a’mal, yaitu perjanjian persekutuan antara dua orang atau lebih untuk menerima pekerjaan dari pihak ketiga yang akan dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi menjadi dua.
Syirkah wujuh, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dengan modal harta dari pihak luar.
Syirkah mudharabah, yaitu kemitraan (persekutuan) antara tenaga dan harta, seorang (supplier) memberikan hartanya kepada pihak lain (pengelola) yang digunakan untuk bisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi menurut kesepakatan kedua belah pihak. Dasarnya bentuk mudharabah adalah peminjaman uang untuk keperluan bisnis.

Syirkah mudharabah ini dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu mudharabah muthlaqah dalam hal ini pemodal memberikan hartanya kepada pelaksana untuk dimudharabahkan dengan tidak menentukan jenis kerja, tempat dan waktu serta orang. Sedangkan mudharabah muqayyadah (terikat suatu syarat), adalah pemilik modal menentukan salah satu dari jenis di atas.

Bila diperhatikan dari sudut bentuk perjanjian yang diadakan waralaba (franchising) dapat dikemukakan bahwa perjanjian itu sebenarnya merupakan pengembangan dari bentuk kerjasama (syirkah). Hal ini disebabkan karena dengan adanya perjanjian franchising, maka secara otomatis antara franchisor dan franchisee terbentuk hubungan kerja sama untuk waktu tertentu (sesuai dengan perjanjian). Kerja sama tersebut dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan bagi kedua belah pihak. Dalam waralaba diterpkan prinsip keterbukaan dan kehati-hatian, hal ini sesuai dengan prinsip transaksi dalam Islam yaitu gharar (ketidakjelasan).

Bisnis waralaba ini pun mempunyai manfaat yang cukup berperan dalam meningkatkan pengembangan usaha kecil. Dari segi kemashlahatan usaha waralaba ini juga bernilai positif sehingga dapat dibenarkan menurut hukum Islam. Terdapat beberapa indikasi di atas yang menyatakan bahwa secara garis besar sistem transaksi franchising ini diperbolehkan oleh hukum Islam, tapi apakah hal tersebut telah ada atau telah dibahas detail dalam hukum Islam? Untuk mengarah lebih lanjut penulis di bawah ini mencoba menganalisa sekilas perbandingan hukum positif di atas dengan hukum Islam yang telah ada khususnya syirkah.sAhmad Sarwat, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar