Menakar Kerjasama Nazhir dengan LKS[1]
Oleh Ir. Muhammad
Syakir Sula, AAIJ, FIIS, QIP.[2]
Indonesia sejatinya menyimpan potensi
wakaf yang besar. Tapi, potensi itu belum dikelola dan dimanfaatkan secara
optimal. Kalau
dikalkulasi, tanah wakaf di Indonesia berjumlah 366.595 lokasi atau sama dengan
2.686.536.656, 68 m2.[3]
Sayangnya, tanah wakaf ini
sebagian besar didiamkan. Hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan,
seperti untuk fasilitas rumah
ibadah, kuburan, dan sarana
pendidikan. Berarti, belum terlihat
upaya pengelolaan aset wakaf ke arah yang lebih produktif dan bernilai benefit yang dapat
digunakan untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih luas dan makro.
Belum lagi, potensi wakaf yang bersumber
dari donasi masyarakat, atau yang biasa disebut wakaf uang (cash waqf).
Jenis wakaf ini membuka peluang besar bagi penciptaan bisnis investasi, yang
hasilnya dapat dimanfaatkan pada bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan
sosial. Wakaf uang di Indonesia belum tersosialisasikan penuh dan ditangani
secara profesional. Padahal, wakaf jenis ini lebih bernilai benefit daripada
wakaf benda tak bergerak.
Kalau
pengelolaan wakaf benda tak bergerak saja belum optimal, apalagi pengelolaan
wakaf uang yang terbilang masih baru. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan kapasitas nazhir (pengelola). Ghalibnya,
masyarakat masih mengangap bahwa wakaf ya harus berupa tanah. Bagaimana dengan
wakaf uang? Masyarakat terbilang
masih buta soal yang satu ini. Karena itu untuk mensukseskan gerakan wakaf
uang, perlu ada sosialisasi yang masif.
Selain
minimnya sosialisasi, kendala yang dihadapi yaitu nazhir konvensional yang cenderung
konsumtif. Mereka jamaknya masih
menangani mauquf (benda wakaf)
dengan cara konvensional dan dinilai tidak produktif.
Karena
itu, jika gerakan wakaf uang ini sudah bergayung sambut dengan masyarakat, maka
salah satu untuk meningkatkan
produktifitasnya yaitu melalui
kerjasama nazhir dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS).[4]
Produktifitas itu berupa pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan
dengan berbagai upaya produktif. Antara lain: dengan cara pengumpulan,
investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis,
pertambangan, perindustrian, pengembangan, teknologi, pembangunan gedung,
apartemen, rumah susun, pasar, swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana
pendidikan ataupun sarana kesehatan dan usaha-usaha lain yang tidak
bertentangan dengan syariah.
Jalinan kerjasama tersebut diharapkan
dapat membantu dan memudahkan nazhir dalam rangka menghimpun wakaf uang yang
bersumber dari donasi masyarakat. Dengan begitu, semakin banyak dana yang
dihimpun dan dikelola, maka manfaatnya pun berlipat ganda dan berdaya jangkau
luas, besar, merambah ke seluruh lapisan masyarakat.
Ini sesuai dengan prinsip wakaf yang
mendasarkan fungsinya pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan)
dan persaudaraan (ukhuwah).[5]
Kerjasama ini dipandang penting karena benefit yang dihasilkan dari jenis wakaf
ini dinilai lebih produktif dan punya prospek bagus, dibanding dengan jenis
wakaf benda tak bergerak.
Bayangkan, dengan logika tamsil yang sederhana, jika saja terdapat 1 juta
saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000, maka akan
diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 milyar setiap bulan, dan Rp 1,2 trilyun per tahun. Jika diinvestasikan
dengan tingkat return 10 persen per tahun maka akan diperoleh penambahan
dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan (Rp 120 miliar per tahun).
Untuk mengelola potensi besar itu, maka
harus ditangani secara profesional, transparan, dan dapat dipertanggung
jawabkan. Selain itu, menghimpun wakaf uang itu tidak mudah, jadi diperlukan
kerjasama dengan LKS yang punya beberapa keunggulan. [6]
Peranan Kerjasama Nazhir dengan LKS
Kerjasama antara nazhir dan Lembaga Keuangan Syariah ini berperan sangat
penting. Sebab, inti kerjasama ini bertujuan untuk mengelola dan memanfaatkan mauquf
agar lebih produktif dan berdaya guna bagi kemaslahatan umat. Dan juga, berguna
untuk meningkatkan kepercayaan publik (wakif) kepada nazhir ihwal pengelolaan mauquf.
Jadi, kerjasama ini dibangun atas dasar saling memberikan manfaat antara kedua
belah pihak.
Pertama, ditilik dari sisi nazhir. Karena adanya akad wakaf, maka hak wakif
(orang yang wakaf) atas mauquf (benda yang diwakafkan) telah hilang. Pada
posisi ini, nazhir bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan dan pemanfaatannya
untuk kemaslahatan umat.
Jika pengelolaannya asal-asalan dan tidak transparan, maka hal ini bisa
menjadi bumerang bagi nazhir, dan justru bergerak ke arah kontra-produktif. Untuk
menghindari hal tersebut, diperlukan pengelolaan yang profesional,
transparansi, serta akuntabilitas dengan cara bekerjasama dengan Lembaga
Keuangan Syariah.
Dengan begitu, hak wakif dapat dipenuhi dengan baik, yaitu:
a.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
terkait dengan kondisi dan jaminan barang atau jasa.
b.
Hak untuk didengarkan pendapat dan keluhannya atas
barang atau jasa yang digunakan.
c.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan
konsumen.
Kedua, dari sudut Lembaga Keuangan Syariah. Dengan bekerjasama dengan
nazhir berarti ada beberapa poin, benefit, dan nilai plus yang diperoleh LKS.
Antara lain:
- Meningkatnya eksistensi LKS. Sebab, dengan adanya kerjasama, sosialisasi wakaf uang kepada masyarakat, secara otomatis juga merupakan langkah sosialisasi LKS.
- Kalau dana yang dihimpun melalui bank itu bertambah banyak, maka akan memperbesar kemungkinan perolehan pendapatan bagi LKS.
- Memberikan citra positif kepada LKS. Ini akibat implikasi disalurkannya pembiayaan untuk kebaikan (qardhul hasan) melalui kebijakan dan jaringan LKS yang tersebar luas.
- Bila keberadaan wakaf tunai ini ditanggapi dan disambut baik oleh kalangan dari berbagai lapisan masyarakat, maka diperkirakan akan mendorong gairah bank-bank konvensional untuk melakukan hal yang sama. Upaya ini merupakan hal positif dalam pengembangan LKS.
Keunggulan Lembaga Keuangan Syariah
Pembahasan ini bermula dari pertanyaan, “Mengapa harus memilih Lembaga
Keuangan Syariah sebagai partner?” Untuk meyakinakan dan sebagai langkah penegasan,
berikut ini adalah kelebihan yang dimiliki LKS, yang dapat dimanfaatkan nazhir
untuk kelancaran menghimpun dan mengelola wakaf uang.
a. Jaringan Kantor
Luasnya jaringan LKS ini secara langsung membantu nazhir dalam menghimpun
dana wakaf sekaligus mengelolanya. Luas jaringan ini mencapai 174 kantor di
hampiur seluruh wilayah Indonesia, dan tingkat pertumbuhan jumlah kantor LKS
mencapai 2,1 % per bulan. Berarti ini merupakan faktor penting dalam
memaksimalkan sosialisasi dan penggalangan wakaf uang.
b. Kemampuan sebagai Fund Manager
Sebagai lembaga perantara antara surplus spending unit dengan deficit
spending unit, LKS pada dasarnya merupakan lembaga pengelola dana
masyarakat. Dengan demikian, sebuah LKS itu sudah menjadi keniscayaan memiliki
kapabilitas dalam mengelola keuangan. Di samping itu, juga berpotensi merambah
pasar internasional melalui LKS. Untuk itu, efektivitas dan optimalisasi
pengelolaan dana hasil wakaf uang pada LKS, sangat tergantung pada seberapa
jauh LKS memiliki akses sekaligus berperan dalam pasar keuangan syariah
international.
c. Pengalaman, Jaringan Informasi, dan Peta
Distribusi
Pengalaman LKS dalam mengelola keuangan sudah tidak diragukan lagi. Juga,
yang turut memperkuat hal itu adalah jaringan informasi yang kuat dan peta
distribusi yang luas. Pengalaman, jaringan, dan distribusi ini, dalam praktek
operasional, menjadi faktor yang akan selalu dipertimbangkan dalam
mengoptimalkan penghimpunan dan pengelolaan wakaf uang.[7]
Faktor tersebut juga memungkinkan untuk membentuk database informasi
mengenai sektor usaha ataupun debitur yang akan dikembangkan. Jadi, pengelolaan
wakaf tunai oleh LKS, tidak saja akan mengoptimalkan pengelolaan dana, tapi
juga akan mengefektifkan penyaluran dana wakaf tunai sesuai dengan keinginan sang
wakif.
Pola kerjasama
Nazhir dengan LKS
Pada materi-materi sebelumnya, telah dijelaskan berbagai manfaat,
keuntungan, dan keunggulan jika nazhir bekerjasama dengan LKS. Hal tersebut
untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dan penguatan kognitif ihwal
relasi penghimpunan, pengelolaan, dan pendistribusian wakaf uang. Kini, saatnya
penjajagan berbagai alternatif bentuk kerjasama yang dapat diterapkan antara
nazhir dan LKS.[8]
a. LKS sebagai Nazhir Pertama, Penyalur, dan
Pengelola
Dalam kerjasama ini LKS mendapat kewenangan penuh untuk menjadi nazhir,
mulai dari penerima, pengelola, dan penyalur dana wakaf. Sistem ini seperti
yang diterapkan SIBL di Banglades, India. Wakif yang menyetorkan dana wakaf ke
LKS akan menerima sertifikat wakaf yang diterbitkan LKS. Karena itu, tanggung
jawab penggalangan, pengelolaan, dan distribusi hasil pengelolaan dana wakaf,
sepenuhynya diserahkan pada LKS.
b. LKS sebagai Nazhir Penerima dan Penyalur
Dalam konteks ini, LKS hanya menerima dan menyalurkan dana wakaf. Sementara
pengeloaannya dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI). Dengan begitu,
tanggung jawab pengelolaan dana dan hubungan kerjasama dengan lembaga penjamin
berada pada wewenang BWI.
Keunggulan LKS pada posisi ini adalah adanya jaringan kantor, informasi,
dan peta distribusi. Ini akan berdaya guna besar untuk menggalang dana wakaf
maupun menyalurkan hasil pengelolaan kepada masyarakat luas.
c. LKS sebagai Pengelola (Fund Manager)
Keunggulan LKS pada posisi ini yaitu kemampuan profesional dalam
pengelolaan dana. Tanggung jawab pengelolaan dana serta hubungan kerjasama
dengan lembaga penjamin berada pada LKS. Sementara jaringan kantor dan peta distribusi
yang dimiliki LKS tidak begitu berperan dalam konteks ini.
d. LKS sebagai Kustodi
Alternatif keempat ini didesain untuk mengantisipasi jika LKS tidak
diberikan kesempatan untuk berperan dalam menghimpun, mengelola, dan
menyalurkan. Maka, LKS dapat berperan menjadi kustodi (penitipan) Sertifikat
Wakaf Tunai yang diterbitkan Badan Wakaf Indonesia.
Kustodi adalah kegiatan penitipan harta untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak. Dalam melakukan kegiatan penitipan, bank menerima
titipan harta dengan mengadministrasikannya secara terpisah dari kekayaan bank.
Mutasi dari barang titipan dialksanakan oleh bank atas perintah pihak yang
menitipkan.
Jadi, wakif menyetorkan dana wakaf ke LKS atas nama rekening BWI. Adapun
Sertifikat Wakaf Tunai itu diterbitkan oleh BWI dan dititipkan di LKS. Karena
LKS hanya berfungsi sebagai kustodi, maka tanggung jawan terhadap wakif
sepenuhnya ada di tangan BWI. Pada posisi ini, nazhir hanya memanfaatkan
jaringan kantor kantor LKS yang tersebar luas sebagai sarana untuk menyetor
dana wakaf.
e. LKS sebagai Kasir Badan Wakaf Indonesia
Ini hampir sama dengan bentuk kerjasama alternatif keempat. Hanya saya LKS
tidak mengadministrasikan Sertifikat Wakaf Tunai yang diterbitkan BWI. Jadi,
rekening BWI akan dipelihara oleh LKS sebagaimana layaknya rekening-rekening
lain yang akan mendapatkan bagi hasil sesuai dengan jenis dan prinsip syariah
yang digunakan (giro, wadiah, tabungan wadiah, atau tabungan mudharabah).
Tanggung jawab kepada wakif, pengelolaan dana, dan penyalurannya akan
menjadi tanggung jawab BWI. Karena itu, BWI akan berhubungan dengan lembaga
penjamin untuk menjamin dana wakaf agar tidak berkurang pokoknya.
Kerjasama dalam Pembiayaan
Proyek Wakaf Produktif
Selain berbagai alternatif pola
kerjasama dalam konteks wakaf uang, ada pula berbagai model kerjasama antara
nazhir dan LKS dalam rangka pengembangan proyek wakaf produktif.[9]
Pertama, mudharabah. Aplikasi Mudharabah dalam
pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah adalah berbentuk (1) Pembiayaan Modal
Kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa; dan (2) Investasi Khusus,
disebut juga “mudharabah muqayyadah”. Yaitu pembiayaan dengan sumber dana
khusus, di luar dana nasabah penyimpan biasa, yang digunakan untuk
proyek-proyek yang telah ditetapkan oleh nasabah investor (nazhir).
Kedua, musyarakah. Musyarakah dalam aplikasi
Lembaga Keuangan Syariah dapat berbentuk, antara lain, (1) Pembiayaan Proyek.
Yaitu pelaku usaha (nazhir) dan Lembaga Keuangan Syariah (selaku pemodal)
sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek
selesai, nasabah mengembalikan dana yang digunakan beserta bagi hasil yang
telah disepakati di awal perjanjian (ijab-kabul).
(2) Modal Ventura. Yakni penanaman modal dilakukan oleh
Lembaga Keuangan Syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu lembaga
keuangan tersebut melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya kepada
pemegang saham perusahaan.
Ketiga, murabahah. Dalam hal ini, nazhir memposisikan dirinya
sebagai pengusaha pengendali proses investasi, yang membeli berbagai keperluan
proyek wakaf, seperti material, peralatan dll., kepada LKS. Jadi, nazhir
menjadi debitor (penghutang) kepada lembaga perbankan untuk harga peralatan dan
material yang dibeli ditambah mark up pembiayaannya. Adapun pembayarannya akan di bayar kemudian yang
diambilkan dari pendapatan hasil pengembangan wakaf.
Keempat, ijarah. Nazhir memberikan izin, dengan
jangka waktu tertentu, kepada LKS selaku penyedia dana untuk mendirikan sebuah
gedung di atas tanah wakaf. Nazhir kemudian menyewakan gedung tersebut.
Manajemen pengelolaan di bawah Kendali nazhir. Secara periodik, nazhir membayar
sewa kepada LKS.
Besaran sewa yang harus dibayar nazhir ditentukan
berdasarkan modal pokok dan keuntungan yang dikehendaki LKS. Jika sudah jatuh
akhir tempo, maka LKS mendapat modal kembali plus keuntungan. Setelah itu,
nazhir menjadi pemilik penuh atas bangunan tadi. Ini jenis akad ijarah
muntahiyah bi tamlik, sewa yang berujung pada kepemilikan.
Kelima, istishna. Nazhir
memesan “sebuah bangunan apartemen” di atas tanah wakaf kepada LKS melalui
surat kontrak istishna. LKS kemudian membuat kontrak dengan kontraktor untuk
memenuhi pesanan nazhir atas nama LKS. Pembayaran nazhir kepada LKS atas proyek
tersebut dapat dilakukan dengan penangguhan atas dasar kesepakatan. Pembayaran
dapat diselesaikan dari hasil pengelolaan apartemen tersebut. Pada posisi ini,
nazhir berperan sebagai pemegang kendali manajemen.
Lima model kerjasama pembiayaan wakaf produktif di atas sebatas misal yang dapat dikembangkan lebih
jauh. Pada intinya, para nazhir harus mempunyai kapabilitas dan jaringan yang luas untuk mengembangkan aset wakaf
yang dikelolahnya.
Tanpa adanya kerjasama, dengan sendirinya, nazhir akan kesulitan mengembangkan
wakaf secara produktif. Karena itu, kerjasama dalam pengembangan aset wakaf
adalah sebuah keniscayaan. []
Daftar Pustaka
Al-Arabiyah, Jumhuriyah Misr, Qawanin al-Auqaf wa al-Fikr wa
al-Qararat al-Tanfidziyyah, Kairo: al-Haiah al-Ammah li Syuun al-Matabi
al-Amiriyah, 1993.
Al-Jamal, Ahmad Muhammad
Abdul Adhim, Daur Nidham al-Waqf al-Islami fi al-Tanmiyah al-Isqtishadiyah
al-Mu’ashirah, Kairo: Dar al-Salam, 2007.
Al-Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Kairo: Dar al-Fikr, 1994.
Amidhan, et. al., Pedoman Nazhir, Jakarta: Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Departemen
Agama RI, Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Direktorat Urusan Agama Islam,
1983.
Mufti, Aries, dan Muhammad Syakir Sula, Amanah Bagi Bangsa, Konsep
Sistem Ekonomi Syariah, Jakarta: Masyarakat Ekonomi Syariah, 2007.
Siregar, Mulya E., et. al., Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf
Tunai (Sebuah Kajian Konseptual), Jakarta: Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia,
2001.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Wakaf.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
[1] Telah dimuat dalam Jurnal Al-AWQAF, Jurnal
Wakaf dan Ekonomi Islam, Volume II, Nomor 3, Agustus 2009. Badan Wakaf Indonesia.
[2]
Pengurus Divisi Humas Badan Wakaf Indonesia (BWI), Ketua Umum IIS (Islamic Insurance Society)
[3]
Data Direktorat Wakaf Departemen Agama RI.
[4]
Kerjasama Nazhir dengan LKS terkait dengan Wakaf Uang adalah bagian yang tak
bisa ditawar. Ini sudah termaktub dalam PP No. 42 tahun 2006, pasal 48 ayat 1,
yang berbunyi, “Pengelolaan dan
pengembangan atas harta benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui
investasi pada produk-produk LKS dan/atau instrumen keuangan syariah.”
[6]
Ini sebagaimana tercermin dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006, pasal
45 ayat 2, yang mengamanatkan bahwa pengelolaan dan pengemabangan harta benda
wakaf Nazhir dapat bekerjasama dengan pihak lain sesuai dengan prinsip syariah.
Dalam konteks ini, LKS adalah lembaga keuangan yang jelas-jelas berdasarkan
prinsip syariah.
[7]
Forum LKS PWU, Peran Lembaga Keuangan Syariah dalam Pengembangan Wakaf Uang
di Indonesia, makalah pada Workshop Nazhir Profesional yang diselenggarakan
Badan Wakaf Indonesia, 7 Agustus 2008. Tidak diterbitkan.
[8] Mulya E.
Siregar, et. al., Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai (Sebuah Kajian
Konseptual), makalah disajikan dalam Seminar Sehari Wakaf Tunai: Inovasi financial
Islam, yang diselenggarakan Program Kajian Timur Tengah dan Islam Pascasarjana
UI bekerjasama dengan Bank Indonesia, Jakarta: Biro Perbankan Syariah Bank
Indonesia, 2001. Tidak diterbitkan.
[9]
Model kerjasama Nazhir-LKS dalam proyek pengembangan wakaf produktif ini
berdasarkan pada pola pengembangan modern. Lihat, Ahmad Muhammad Abdul Adhim
al-Jamal, Daur Nidham al-Waqf al-Islami fi al-Tanmiyah al-Isqtishadiyah
al-Mu’ashirah, Kairo: Dar al-Salam, 2007, h. 123.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar