Rabu, 06 Juni 2012

menakar kerjasama nazhir dengan lks


Menakar Kerjasama Nazhir dengan LKS[1]
Oleh Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS, QIP.[2]

Indonesia sejatinya menyimpan potensi wakaf yang besar. Tapi, potensi itu belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Kalau dikalkulasi, tanah wakaf di Indonesia berjumlah 366.595 lokasi atau sama dengan 2.686.536.656, 68 m2.[3] Sayangnya, tanah wakaf ini sebagian besar didiamkan. Hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan, seperti untuk fasilitas rumah ibadah, kuburan, dan sarana pendidikan. Berarti, belum terlihat upaya pengelolaan aset wakaf ke arah yang lebih produktif dan bernilai benefit yang dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih luas dan makro.  

Belum lagi, potensi wakaf yang bersumber dari donasi masyarakat, atau yang biasa disebut wakaf uang (cash waqf). Jenis wakaf ini membuka peluang besar bagi penciptaan bisnis investasi, yang hasilnya dapat dimanfaatkan pada bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Wakaf uang di Indonesia belum tersosialisasikan penuh dan ditangani secara profesional. Padahal, wakaf jenis ini lebih bernilai benefit daripada wakaf benda tak bergerak.

Kalau pengelolaan wakaf benda tak bergerak saja belum optimal, apalagi pengelolaan wakaf uang yang terbilang masih baru. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan kapasitas nazhir (pengelola). Ghalibnya, masyarakat masih mengangap bahwa wakaf ya harus berupa tanah. Bagaimana dengan wakaf uang? Masyarakat terbilang masih buta soal yang satu ini. Karena itu untuk mensukseskan gerakan wakaf uang, perlu ada sosialisasi yang masif.

Selain minimnya sosialisasi, kendala yang dihadapi yaitu nazhir konvensional yang cenderung konsumtif. Mereka jamaknya masih menangani mauquf  (benda wakaf) dengan cara konvensional dan dinilai tidak produktif.

Karena itu, jika gerakan wakaf uang ini sudah bergayung sambut dengan masyarakat, maka salah satu untuk meningkatkan produktifitasnya yaitu melalui kerjasama nazhir dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS).[4] Produktifitas itu berupa pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan dengan berbagai upaya produktif. Antara lain: dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan, teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar, swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan dan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan syariah.

Jalinan kerjasama tersebut diharapkan dapat membantu dan memudahkan nazhir dalam rangka menghimpun wakaf uang yang bersumber dari donasi masyarakat. Dengan begitu, semakin banyak dana yang dihimpun dan dikelola, maka manfaatnya pun berlipat ganda dan berdaya jangkau luas, besar, merambah ke seluruh lapisan masyarakat.

Ini sesuai dengan prinsip wakaf yang mendasarkan fungsinya pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwah).[5] Kerjasama ini dipandang penting karena benefit yang dihasilkan dari jenis wakaf ini dinilai lebih produktif dan punya prospek bagus, dibanding dengan jenis wakaf benda tak bergerak.

Bayangkan, dengan logika tamsil yang sederhana, jika saja terdapat 1 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000, maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 milyar setiap bulan, dan  Rp 1,2 trilyun per tahun. Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan (Rp 120 miliar per tahun).

Untuk mengelola potensi besar itu, maka harus ditangani secara profesional, transparan, dan dapat dipertanggung jawabkan. Selain itu, menghimpun wakaf uang itu tidak mudah, jadi diperlukan kerjasama dengan LKS yang punya beberapa keunggulan. [6]


Peranan Kerjasama Nazhir dengan LKS

Kerjasama antara nazhir dan Lembaga Keuangan Syariah ini berperan sangat penting. Sebab, inti kerjasama ini bertujuan untuk mengelola dan memanfaatkan mauquf agar lebih produktif dan berdaya guna bagi kemaslahatan umat. Dan juga, berguna untuk meningkatkan kepercayaan publik (wakif) kepada nazhir ihwal pengelolaan mauquf. Jadi, kerjasama ini dibangun atas dasar saling memberikan manfaat antara kedua belah pihak.

Pertama, ditilik dari sisi nazhir. Karena adanya akad wakaf, maka hak wakif (orang yang wakaf) atas mauquf (benda yang diwakafkan) telah hilang. Pada posisi ini, nazhir bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan dan pemanfaatannya untuk kemaslahatan umat.

Jika pengelolaannya asal-asalan dan tidak transparan, maka hal ini bisa menjadi bumerang bagi nazhir, dan justru bergerak ke arah kontra-produktif. Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan pengelolaan yang profesional, transparansi, serta akuntabilitas dengan cara bekerjasama dengan Lembaga Keuangan Syariah.

Dengan begitu, hak wakif dapat dipenuhi dengan baik, yaitu:
a.       Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur terkait dengan kondisi dan jaminan barang atau jasa.
b.      Hak untuk didengarkan pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan.
c.       Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

Kedua, dari sudut Lembaga Keuangan Syariah. Dengan bekerjasama dengan nazhir berarti ada beberapa poin, benefit, dan nilai plus yang diperoleh LKS. Antara lain:
  1. Meningkatnya eksistensi LKS. Sebab, dengan adanya kerjasama, sosialisasi wakaf uang kepada masyarakat, secara otomatis juga merupakan langkah sosialisasi LKS.
  2. Kalau dana yang dihimpun melalui bank itu bertambah banyak, maka akan memperbesar kemungkinan perolehan pendapatan bagi LKS.
  3. Memberikan citra positif kepada LKS. Ini akibat implikasi disalurkannya pembiayaan untuk kebaikan (qardhul hasan) melalui kebijakan dan jaringan LKS yang tersebar luas.
  4. Bila keberadaan wakaf tunai ini ditanggapi dan disambut baik oleh kalangan dari berbagai lapisan masyarakat, maka diperkirakan akan mendorong gairah bank-bank konvensional untuk melakukan hal yang sama. Upaya ini merupakan hal positif dalam pengembangan LKS.


Keunggulan Lembaga Keuangan Syariah

Pembahasan ini bermula dari pertanyaan, “Mengapa harus memilih Lembaga Keuangan Syariah sebagai partner?” Untuk meyakinakan dan sebagai langkah penegasan, berikut ini adalah kelebihan yang dimiliki LKS, yang dapat dimanfaatkan nazhir untuk kelancaran menghimpun dan mengelola wakaf uang.

a. Jaringan Kantor

Luasnya jaringan LKS ini secara langsung membantu nazhir dalam menghimpun dana wakaf sekaligus mengelolanya. Luas jaringan ini mencapai 174 kantor di hampiur seluruh wilayah Indonesia, dan tingkat pertumbuhan jumlah kantor LKS mencapai 2,1 % per bulan. Berarti ini merupakan faktor penting dalam memaksimalkan sosialisasi dan penggalangan wakaf uang.

b. Kemampuan sebagai Fund Manager

Sebagai lembaga perantara antara surplus spending unit dengan deficit spending unit, LKS pada dasarnya merupakan lembaga pengelola dana masyarakat. Dengan demikian, sebuah LKS itu sudah menjadi keniscayaan memiliki kapabilitas dalam mengelola keuangan. Di samping itu, juga berpotensi merambah pasar internasional melalui LKS. Untuk itu, efektivitas dan optimalisasi pengelolaan dana hasil wakaf uang pada LKS, sangat tergantung pada seberapa jauh LKS memiliki akses sekaligus berperan dalam pasar keuangan syariah international.

c. Pengalaman, Jaringan Informasi, dan Peta Distribusi

Pengalaman LKS dalam mengelola keuangan sudah tidak diragukan lagi. Juga, yang turut memperkuat hal itu adalah jaringan informasi yang kuat dan peta distribusi yang luas. Pengalaman, jaringan, dan distribusi ini, dalam praktek operasional, menjadi faktor yang akan selalu dipertimbangkan dalam mengoptimalkan penghimpunan dan pengelolaan wakaf uang.[7]

Faktor tersebut juga memungkinkan untuk membentuk database informasi mengenai sektor usaha ataupun debitur yang akan dikembangkan. Jadi, pengelolaan wakaf tunai oleh LKS, tidak saja akan mengoptimalkan pengelolaan dana, tapi juga akan mengefektifkan penyaluran dana wakaf tunai sesuai dengan keinginan sang wakif.


Pola kerjasama Nazhir dengan LKS

Pada materi-materi sebelumnya, telah dijelaskan berbagai manfaat, keuntungan, dan keunggulan jika nazhir bekerjasama dengan LKS. Hal tersebut untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dan penguatan kognitif ihwal relasi penghimpunan, pengelolaan, dan pendistribusian wakaf uang. Kini, saatnya penjajagan berbagai alternatif bentuk kerjasama yang dapat diterapkan antara nazhir dan LKS.[8]

a. LKS sebagai Nazhir Pertama, Penyalur, dan Pengelola

 















Dalam kerjasama ini LKS mendapat kewenangan penuh untuk menjadi nazhir, mulai dari penerima, pengelola, dan penyalur dana wakaf. Sistem ini seperti yang diterapkan SIBL di Banglades, India. Wakif yang menyetorkan dana wakaf ke LKS akan menerima sertifikat wakaf yang diterbitkan LKS. Karena itu, tanggung jawab penggalangan, pengelolaan, dan distribusi hasil pengelolaan dana wakaf, sepenuhynya diserahkan pada LKS.

b. LKS sebagai Nazhir Penerima dan Penyalur

 

















Dalam konteks ini, LKS hanya menerima dan menyalurkan dana wakaf. Sementara pengeloaannya dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI). Dengan begitu, tanggung jawab pengelolaan dana dan hubungan kerjasama dengan lembaga penjamin berada pada wewenang BWI.

Keunggulan LKS pada posisi ini adalah adanya jaringan kantor, informasi, dan peta distribusi. Ini akan berdaya guna besar untuk menggalang dana wakaf maupun menyalurkan hasil pengelolaan kepada masyarakat luas.

c. LKS sebagai Pengelola (Fund Manager)

 

















Keunggulan LKS pada posisi ini yaitu kemampuan profesional dalam pengelolaan dana. Tanggung jawab pengelolaan dana serta hubungan kerjasama dengan lembaga penjamin berada pada LKS. Sementara jaringan kantor dan peta distribusi yang dimiliki LKS tidak begitu berperan dalam konteks ini.

d. LKS sebagai Kustodi
 










Alternatif keempat ini didesain untuk mengantisipasi jika LKS tidak diberikan kesempatan untuk berperan dalam menghimpun, mengelola, dan menyalurkan. Maka, LKS dapat berperan menjadi kustodi (penitipan) Sertifikat Wakaf Tunai yang diterbitkan Badan Wakaf Indonesia.

Kustodi adalah kegiatan penitipan harta untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak. Dalam melakukan kegiatan penitipan, bank menerima titipan harta dengan mengadministrasikannya secara terpisah dari kekayaan bank. Mutasi dari barang titipan dialksanakan oleh bank atas perintah pihak yang menitipkan.

Jadi, wakif menyetorkan dana wakaf ke LKS atas nama rekening BWI. Adapun Sertifikat Wakaf Tunai itu diterbitkan oleh BWI dan dititipkan di LKS. Karena LKS hanya berfungsi sebagai kustodi, maka tanggung jawan terhadap wakif sepenuhnya ada di tangan BWI. Pada posisi ini, nazhir hanya memanfaatkan jaringan kantor kantor LKS yang tersebar luas sebagai sarana untuk menyetor dana wakaf.

e. LKS sebagai Kasir Badan Wakaf Indonesia



 


















Ini hampir sama dengan bentuk kerjasama alternatif keempat. Hanya saya LKS tidak mengadministrasikan Sertifikat Wakaf Tunai yang diterbitkan BWI. Jadi, rekening BWI akan dipelihara oleh LKS sebagaimana layaknya rekening-rekening lain yang akan mendapatkan bagi hasil sesuai dengan jenis dan prinsip syariah yang digunakan (giro, wadiah, tabungan wadiah, atau tabungan mudharabah).

Tanggung jawab kepada wakif, pengelolaan dana, dan penyalurannya akan menjadi tanggung jawab BWI. Karena itu, BWI akan berhubungan dengan lembaga penjamin untuk menjamin dana wakaf agar tidak berkurang pokoknya.


Kerjasama dalam Pembiayaan Proyek Wakaf Produktif

Selain berbagai alternatif pola kerjasama dalam konteks wakaf uang, ada pula berbagai model kerjasama antara nazhir dan LKS dalam rangka pengembangan proyek wakaf produktif.[9]

Pertama, mudharabah. Aplikasi Mudharabah dalam pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah adalah berbentuk (1) Pembiayaan Modal Kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa; dan (2) Investasi Khusus, disebut juga “mudharabah muqayyadah”. Yaitu pembiayaan dengan sumber dana khusus, di luar dana nasabah penyimpan biasa, yang digunakan untuk proyek-proyek yang telah ditetapkan oleh nasabah investor (nazhir).

Kedua, musyarakah. Musyarakah dalam aplikasi Lembaga Keuangan Syariah dapat berbentuk, antara lain, (1) Pembiayaan Proyek. Yaitu pelaku usaha (nazhir) dan Lembaga Keuangan Syariah (selaku pemodal) sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana yang digunakan beserta bagi hasil yang telah disepakati di awal perjanjian (ijab-kabul).

(2) Modal Ventura. Yakni penanaman modal dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu lembaga keuangan tersebut melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya kepada pemegang saham perusahaan.

Ketiga, murabahah. Dalam hal ini, nazhir memposisikan dirinya sebagai pengusaha pengendali proses investasi, yang membeli berbagai keperluan proyek wakaf, seperti material, peralatan dll., kepada LKS. Jadi, nazhir menjadi debitor (penghutang) kepada lembaga perbankan untuk harga peralatan dan material yang dibeli ditambah mark up pembiayaannya. Adapun pembayarannya akan di bayar kemudian yang diambilkan dari pendapatan hasil pengembangan wakaf. 

Keempat, ijarah. Nazhir memberikan izin, dengan jangka waktu tertentu, kepada LKS selaku penyedia dana untuk mendirikan sebuah gedung di atas tanah wakaf. Nazhir kemudian menyewakan gedung tersebut. Manajemen pengelolaan di bawah Kendali nazhir. Secara periodik, nazhir membayar sewa kepada LKS.

Besaran sewa yang harus dibayar nazhir ditentukan berdasarkan modal pokok dan keuntungan yang dikehendaki LKS. Jika sudah jatuh akhir tempo, maka LKS mendapat modal kembali plus keuntungan. Setelah itu, nazhir menjadi pemilik penuh atas bangunan tadi. Ini jenis akad ijarah muntahiyah bi tamlik, sewa yang berujung pada kepemilikan.

Kelima, istishna. Nazhir memesan “sebuah bangunan apartemen” di atas tanah wakaf kepada LKS melalui surat kontrak istishna. LKS kemudian membuat kontrak dengan kontraktor untuk memenuhi pesanan nazhir atas nama LKS. Pembayaran nazhir kepada LKS atas proyek tersebut dapat dilakukan dengan penangguhan atas dasar kesepakatan. Pembayaran dapat diselesaikan dari hasil pengelolaan apartemen tersebut. Pada posisi ini, nazhir berperan sebagai pemegang kendali manajemen.

Lima model kerjasama pembiayaan wakaf produktif di atas sebatas misal yang dapat dikembangkan lebih jauh. Pada intinya, para nazhir harus mempunyai kapabilitas dan jaringan yang luas untuk mengembangkan aset wakaf yang dikelolahnya. Tanpa adanya kerjasama, dengan sendirinya, nazhir akan kesulitan mengembangkan wakaf secara produktif. Karena itu, kerjasama dalam pengembangan aset wakaf adalah sebuah keniscayaan. []


























Daftar Pustaka


Al-Arabiyah, Jumhuriyah Misr, Qawanin al-Auqaf wa al-Fikr wa al-Qararat al-Tanfidziyyah, Kairo: al-Haiah al-Ammah li Syuun al-Matabi al-Amiriyah, 1993.
Al-Jamal, Ahmad Muhammad Abdul Adhim, Daur Nidham al-Waqf al-Islami fi al-Tanmiyah al-Isqtishadiyah al-Mu’ashirah, Kairo: Dar al-Salam, 2007.
Al-Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Kairo: Dar al-Fikr, 1994.
Amidhan, et. al., Pedoman Nazhir, Jakarta:  Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Departemen Agama RI, Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Direktorat Urusan Agama Islam, 1983.
Mufti, Aries, dan Muhammad Syakir Sula, Amanah Bagi Bangsa, Konsep Sistem Ekonomi Syariah, Jakarta: Masyarakat Ekonomi Syariah, 2007.
Siregar, Mulya E., et. al., Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai (Sebuah Kajian Konseptual), Jakarta: Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2001.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Wakaf.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.




[1] Telah dimuat dalam Jurnal Al-AWQAF, Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam, Volume II, Nomor 3, Agustus 2009. Badan Wakaf Indonesia.
[2] Pengurus Divisi Humas Badan Wakaf Indonesia (BWI), Ketua Umum IIS (Islamic Insurance Society)
[3] Data Direktorat Wakaf Departemen Agama RI.
[4] Kerjasama Nazhir dengan LKS terkait dengan Wakaf Uang adalah bagian yang tak bisa ditawar. Ini sudah termaktub dalam PP No. 42 tahun 2006, pasal 48 ayat 1, yang berbunyi, “Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk LKS dan/atau instrumen keuangan syariah.”
[5] Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Kairo: Dar al-Fikr, 1994, h. 131.
[6] Ini sebagaimana tercermin dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006, pasal 45 ayat 2, yang mengamanatkan bahwa pengelolaan dan pengemabangan harta benda wakaf Nazhir dapat bekerjasama dengan pihak lain sesuai dengan prinsip syariah. Dalam konteks ini, LKS adalah lembaga keuangan yang jelas-jelas berdasarkan prinsip syariah.


[7] Forum LKS PWU, Peran Lembaga Keuangan Syariah dalam Pengembangan Wakaf Uang di Indonesia, makalah pada Workshop Nazhir Profesional yang diselenggarakan Badan Wakaf Indonesia, 7 Agustus 2008. Tidak diterbitkan.  
[8]  Mulya E. Siregar, et. al., Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai (Sebuah Kajian Konseptual), makalah disajikan dalam Seminar Sehari Wakaf Tunai: Inovasi financial Islam, yang diselenggarakan Program Kajian Timur Tengah dan Islam Pascasarjana UI bekerjasama dengan Bank Indonesia, Jakarta: Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2001. Tidak diterbitkan.

[9] Model kerjasama Nazhir-LKS dalam proyek pengembangan wakaf produktif ini berdasarkan pada pola pengembangan modern. Lihat, Ahmad Muhammad Abdul Adhim al-Jamal, Daur Nidham al-Waqf al-Islami fi al-Tanmiyah al-Isqtishadiyah al-Mu’ashirah, Kairo: Dar al-Salam, 2007, h. 123.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar